Kamis, 05 Februari 2009

Fatwa Haram Golput
“Menggali Kembali Pemahaman Tentang Fatwa”
Oleh :


Andre Tatum bin Haji Kusnadi
Caleg DPRD DKI Dapil III Jakarta Timur No urut 10
Partai Matahari Bangsa (18)

Beberapa waktu yang lalu di Media Massa cukup hangat di beritakan tentang wacana Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang berharap kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk dapat mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput dan wajibnya menggunakan hak pilih yang pada akhirnya . Fatwa ini diyakini bakal menjadi fatwa yang populis dan mampu menyukseskan Pemilu 2009. Beliau menyatakan hal itu kepada wartawan usai menjalankan shalat Jumat (12/12/2008) di gedung DPR/MPR.Banyak para pihak yang berpersepsi bahwa mengungkapkan hal tersebut berhubungan dengan wacana koalisi partai Islam jilid II yang dilontarkan Ketua PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin .
Dalam literatur hukum Islam di kenal beberapa term yang berhubungan dengan proses pengambilan hukum. Salah satu antaranya adalah fatwa, fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh mufti atau lembaga ( dewan ) fatwa kepada individu atau publik yang mengajukan pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya proses istifta’ (pengajuan permohonan akan fatwa oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun badan hukum kepada juru atau lembaga fatwa .Hal yang menarik ialah bahwa fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Artinya, fatwa boleh diikuti atau ditinggalkan, bahkan oleh si pemohon sendiri. Fatwa dari bahasa Arab yang dapat di artikan sebagai sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah dewan mufti atau ulama.Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan rujukan hukum bagi umat Islam di Indonesia.
Latar belakang munculnya sebuah Fatwa di karenakan selalu ada saja kecenderungan umat Islam untuk bertanya kepada seorang ulama tentang status hukum semua hal yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untuk menyebut sebuah pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih.
Sebagian besar para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. paradigma berpikir dan pencerahan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu kwalitas ijtihad.Bahkan latar belakang sosiologis , Antropologis , psikologis dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad serta strata sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada linkaran atau cenderung dekat dengan kekuasaan boleh jadi mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah kontra dengan penguasa.
Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad mutlak dituntun dan dikendalikan oleh metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal,pada sisi lain pengkultusan ulama yang cenderung dianggap adalah mewakili yang berada di atas semua kepentingan sosial yang ada dapat melenceng ketika kita tidak hati – hati memahaminya , tanpa mengeyampingkan pengertian ulama adalah “Pewaris para nabi” , tetapi yang perlu di garis bawahi bukan untuk semua merk Ulama , tetapi Ulama yang mana dan yang bagaimana ?
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, kita berharap kita bisa menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah tak lebih dari “legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Di dalam ruang lingkup dunia demokrasi, selama ini dikenal lima tiang besar sebagai penyangga tegaknya berjalannya suatu pemerintahan yang demokratis. Yakni, yudikatif, legislatif, partai politik, media massa, dan masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh Ormas atau di kenal dengan istilah NGO.
Efektivitas dan kwalitas berjalannya proses demokrasi pada kehidupan masyarakat suatu bangsa terlihat dengan berjalan atau tidaknya ke lima tiang besar di atas. Jika terdapat kepincangan pada salah satunya, demokrasi juga tidak akan berjalan secara sempurna.
Namun, dalam banyak kasus, di tengah carut marutnya di dalam bidang yudikatif, legislatif dan partai politik, posisi media massa dan masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh ormas atau NGO menjadi kekuatan dan benteng terakhir bagi penegakan demokrasi.
Ketika ormas atau NGO menjadi kekuatan dan benteng terakhir bagi penegakan demokrasi , agama melalui lembaga fatwa jikalau benar – benar terjadi keputusan sebuah Fatwa Golput haram di Indonesia , Maka sebuah Fatwa mau tidak mau akan menjadi tambahan atau tiang penguat untuk berjalannya proses demokrasi di Indonesia . Seiring proses demokrasi itu berjalan ada sejumlah problem yang menyelinap dan tak bisa dihindari. Pertama, mengingat fatwa tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi seluruh masyarakat, lahirnya fatwa sangat mungkin dilawan dengan pengeluaran fatwa tandingan. Kalau hal seperti ini terjadi, agama bisa akan menjadi tontonan publik semata.Apalagi, masing-masing ormas Islam , NGO sampai Parpol Islam memiliki lembaga fatwa masing - masing.Jika golput haram hukumnya. Artinya, seorang yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan dosa besar.
Bagi sebagian orang , golput di pahami sebagai pilihan politik. Dan sebagai sebuah pilihan, mereka yakin itu dibuat dengan sadar. Sesadar orang yang memilih partai politik karena kepentingan – kepentingan tertentu .Justru golput dipilih karena mereka sadar kalau itulah sikap politik mereka saat ini. Pilihan yang diambil karena mereka mengetahui realita politik dengan gamblang dan jelas.
fenomena golput di masyarakat Indonesia yang sedang berkembang harus dilihat secara jernih dengan akal sehat sebagai ciri masyarakat baru yang sedang terbentuk, yaitu masyarakat yang mulai melepaskan diri dari politik atau dengan kata lain tidak menempatkan politik sebagai segala-galanya. Melalui golput, lapisan masyarakat yang selama ini terkungkung dalam hegemoni proses politik yang kapitalistik seolah sedang menegaskan kembali eksistensinya. Terlebih realitas politik Indonesia kontemporer menunjukkan, hampir tidak ada sumbangan berarti yang diberikan dunia politik bagi kemaslahatan rakyat Indonesia, selain konflik dan kekerasan.
Golput masih di anggap bukanlah sebuah rekayasa politik karena digerakkan oleh luapan energi dengan kesadaran,begitu banyak hal yang terlupakan dan terabaikan oleh sistem dan proses politik saat ini,golput juga merupakan bentuk aktualisasi diri di tengah perubahan yang sedang berlangsung. Karena itu, sudah semestinya golput tidak dijadikan cibiran politik.Demokrasi mengharamkan kita untuk menghujat mereka yang secara sadar memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya.Harus di ingat,memilih bukan kewajiban, tetapi sebuah hak sebagai warga negara .Jadi ketika Hak itu tidak di pergunakan maka perbuatan itu adalah perbuatan yang “HALAL” .Masyarakat lebih baik diimbau untuk menggunakan hak pilihnya ketimbang menggunakan fatwa agama untuk permasalahan politik Praktis .
Penulis Sependapat dengan KH Sholahuddin Wahid pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jawa Timur , mantan ketua Komnas HAM ini berpendapat yang di siarkan oleh sebuah station Televisi beberapa waktu yang lalu bahwa ia setuju sekali bahwa dalam rangka membangun demokrasi dan memilih pemimpin untuk masa depan yang lebih baik sebaiknya masyarakat menggunakan hak pilihnya dengan sebaik – baiknya , tetapi ia juga kurang setuju kalau nantinya golput di fatwakan “ Haram”, karena perlu di garis bawahi menurutnya status ikut memilih seseorang adalah hak sebagai warga negara , apakah warga negara itu menggunakannya atau tidak , terserah warga negara tersebut.
Tetapi juga penulis memahami benar jika Golput di organisir yang pada akhirnya melahirkan bola salju yang semakin lama semakin besar , hal itu juga dapat merusak proses demokrasi dan tatanan bernegara di negeri ini.Maka di sinilah tantangan para wakil rakyat untuk segera berbenah diri dan menjaga hubungan yang baik dengan konstituen , yang pada akhirnya masyarakat akan sadar jika ia melakukan tindakan golput , ia merasa bahwa kepentingannya tidak akan tersalurkan melalui lembaga yang mewakili dirinya.

Jangan ada lagi DISKRIMINASI

Jangan Ada Lagi Diskriminasi
Oleh Tomy Su *

Presiden Yudhoyono dalam sambutan Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2557 di
Jakarta Convention Center, Sabtu (4/2) menegaskan, bangsa Indonesia saat ini
tidak ingin lagi bersikap diskriminatif. Khusus terkait status agama Konghucu,
Presiden Yudhoyono kembali mengingatkan sesuai Penetapan Presiden No 1/1965
yang diundangkan melalui UU No 5/1969, agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu merupakan agama yang dipeluk penduduk di Indonesia.

Presiden kemudian menyatakan pada 24 Januari lalu, Depag telah melayani umat
Konghucu sebagai penganut agama Konghucu. Demikian pula pelaksanaan pencatatan
perkawinan di kantor catatan sipil berdasarkan UU No1/1974 tentang Perkawinan.

Presiden meminta kantor catatan sipil di Indonesia mencatatkan perkawinan bagi
pemeluk agama Konghucu seperti pencatatan perkawinan bagi penganut agama
Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Terkait dengan ketentuan pasal 12 A UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, ke depan Depag juga akan memfasilitasi penyediaan guru agama Konghucu
untuk mengajarkan agama itu bagi murid sekolah yang menganutnya.

Tentu saja segenap warga Tionghoa, khususnya penganut Konghucu, menyambut
gembira pernyataan presiden, seperti tampak pada cukup banyaknya iklan ucapan
terima kasih dari tokoh-tokoh Konghucu kepada presiden di beberapa media
nasional.


Buah Cultural Genocide

Seperti kita tahu akibat Gerakan 30 September 1965, penganut agama Konghucu
selama 40 tahun lebih harus ikut menanggung diskriminasi sebagai buah kebijakan
cultural genocide, yang justru dilakukan negara. Yang dimaksud cultural
genocide -meminjam istilah Geoffrey Robertson- adalah by prohibiting the use of
a group's language, rewriting or obliterating its history or destroying its
icon (dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok, mengubah atau
menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya).

Kebijakan cultural genocide itu juga banyak termanifestasi dalam produk-produk
hukum yang diskriminatif dan itu masih terus diberlakukan hingga sekarang.
Maka, Direktur Partnership H.S. Dillon dalam rapat dengar pendapat dengan
Panitia Khusus (Pansus) RUU Antidiskriminasi Etnis dan Ras di gedung DPR,
mendesak pansus mengkaji ulang semua peraturan perundang-undangan yang
mengandung unsur-unsur diskriminasi, entah dengan menghapus, merevisi, atau
meluruskannya.

Usaha menghilangkan diskriminasi tidak dapat dilakukan secara parsial melalui
sebuah UU jika dalam perundang-undangan lain telah ada unsur diskriminasi
(9/2).

Diskriminasi bagi yang menjadi korban memang terasa sangat pahit. Tidak heran
walaupun Presiden SBY sudah mengungkapkan hal-hal yang memberi harapan, di
lapangan mereka yang menjadi korban diskriminasi masih diliputi kekhawatiran
dan pertanyaan benarkah yang disampaikan Presiden SBY di atas?

Apalagi, antara retorika di atas dan realita pahit yang sering dialami warga di
bawah jelas berbeda. Dalam bahasa Frans Hendrawinarta, memang sering ada gap
antara The law in books dan the law in practice. Salah satu buktinya adalah
kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Yang di atas
menyatakan SBKRI dihapus, tapi di lapangan SBKRI masih diterapkan.

Akibatnya, hingga kini masih ada ratusan ribu warga Tionghoa merasa stateless
karena tidak bisa memiliki KTP yang salah satu syaratnya harus disertai SBKRI,
seperti di Tangerang, Jakarta, Pangkal Pinang, Surabaya, Malang, dan sebagainya.

Apalagi dalam praktik, hingga sekarang cukup banyak penganut Konghucu yang jadi
korban diskriminasi. Kawan dekat Gus Dur yang sekaligus tokoh Konghucu Bingky
Irawan asal Surabaya dan para penganut agama Konghucu lain masih harus
menuliskan agama lain di KTP-nya.

Itu belum terhitung dengan ratusan ribu penganut agama Tao di negeri ini yang
juga menuntut pengakuan serupa seperti umat Konghucu. Jadi, masih ada
pertanyaan besar apakah sampai institusi paling bawah, pernyataan presiden
tersebut benar-benar diaplikasikan?

Apalagi, berdasarkan laporan International Religious Freedom Report 2005 yang
diterbitkan The Bureau of Democracy, Human Rights and Labor of USA, sebuah
lembaga kajian demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) terkemuka di Amerika
Serikat, Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat diskriminatif dan
banyak mencampuri hak warganya untuk beribadah dan berkepercayaan.


Group Think

Dampak diskriminasi dari negara, ditambah pandangan minor etnis lain mendorong
sebagian etnis Tionghoa membuat group think. Di dalam group think, mereka
merasa nyaman, enak karena bergabung dengan kelompoknya sendiri.

Sebaliknya, mereka merasa tidak nyaman atau tidak enak jika bergabung dengan
kelompok lain. Tentu saja hal ini berdampak amat buruk karena justru gampang
memicu rasialisme dan diskriminasi.

Ujung-ujungnya, orang yang merasa nyaman dalam group think ini akan cenderung
punya mentalitas kami versus mereka dan menegasikan semua kelompok lain.
Keberadaan kelompok semacam ini jelas sangat kontraproduktif bagi negeri kita.

Masih terjadinya group think atau kekhawatiran yang mempertanyakan pernyataan
presiden sebenarnya dipicu oleh sikap pemerintah sendiri yang kurang
menyosialisasikan secara komprehensif produk-produk hukum diskriminatif mana
yang sudah dicabut dan mana yang belum.

Soal SBKRI, misalnya, Surat Edaran Mendagri atau Surat Edaran Dirjen Imigrasi
14 April 2004 sudah mencabutnya. Tetapi, oknum-oknum di Imigrasi justru masih
sering meraup untung dari warga Tionghoa yang masih saja dimintai SBKRI.

Jadi, jika pemerintah dan negara tidak ingin lagi diskriminatif, segala produk
hukum atau praktik hidup bernegara dan berbangsa yang diskriminatif harus
dihapus, diakhiri, dan disosialisasikan seluas-luasnya. Jangan ada lagi
diskriminasi, bukan hanya terhadap etnis Tionghoa, tetapi terhadap semua etnis
lain.